Jumat, 07 Oktober 2011

SEJARAH PERKEMBANGAN HADIST

SEJARAH PERKEMBANGAN HADIST

A.    Sejarah dan Periodisasi Sejarah Perkembangan Hadits

1.      Pengertian Sejarah Perkembangan Hadist
Perkembangan Hadist adalah masa atau periode-periode yang telah dilauliu oleh Hadist semenjak dari lahirnya dan tumbuhnya dalam pengenalan, penghayatan dan pengmalan umat dari generasi ke generasi. 
Dalam hal kita mempelajari Hadist dan ilmu Hadist, maka kita harus mendalami dari Hadist dan ilmu Hadist, sehingga dapat mengetahui tentang sikap dan tindakan umat terhadap Hadisr serta usaha bagi Pembinaan dan pemaliharaan Hadist tersebut.
Obyek pembahasan dan penalaran sejarah Hadist adalah :
a.       Tentang periode perkembangan Hadist dengan mendalami mengenai ciri-ciri dari setiap periode, dengan memperhatikan keadaan dan sikap umat dan masyarakatnya serta pengaruh timbal balik antara Hadist dan masyarakat tempat berkembangnya Hadist.
b.      Tentang biografi pemuka-pemuka Hadist (Muhadistin) baik sebaai perawi, pentadwin, penghafazh dan sebagainya yag bertalian dengan tugas pemeliharaan, pembinaan dan pengembangan Hadist sebagai dasar Tasyri’, sehingga dapat diketahui jalan-jalan (aktivitas) yang telah mereka lalui, pokok-pokok dasar yang ia tegakkan dan kaidah-kaidah yang mereka gunakan dalam usaha pembinaan Hadist dan ilmunya.
Periodisasi sejarah Hadist yang membaginya pada 7 periode adalah:
a.       Periode pertama: Masa Rosulullah, semenjak Rosulullah diangkat menjadi Rosul sampai wafatnya. (masa turun wahyu dan pembentukan masyarakat Islam)
b.      Periode kedua: Masa shahabat Besar, semenjak permulaan masa pemerintahan Abu Bakar Al-Shiddiq sampai pada berakirnya zaman Ali Ibn Thalib (11H-40H). (zaman pematerian dan penyederhanaan / penyelidikan riwayah)
c.       Periode ketiga: Masa shahabat Kecil dan Tabi’in Besar, dari berakhirnya zaman khulafa Al-Rasyidin atau permulaan masa Amawiyah sampai abad pertama. (masa penyebaran riwayah ke kota-kota/ daerah-daerah)
d.      Periode keempat: masa pemerintahan Daulah Abbasiyah kedua sampai masa Daulah Abbasiyah pertama , dari permulaan abad II Hijriyah sampai abad II Hijriyah. (masa penlisan dan pentadwinan)
e.       Periode kelima: Msa akhir pemerintahan Daulah Abbasiyah angkatan pertama sampai awal Daulah Abbasiyah angkatan kedua (sejak khalifah Ma’mun sampai Khalifah al-Muqtadir) dari awal abad III Hijriyah sampai akhir abad III Hijriyah. (masa penyaring, pemeliharaan, dan pelengkapan)
f.       Periode keenam: masa pemerintahan Abbasiyah angkatan kedua (sejak Khalifah al-Muqtadir sampai al-Mu’tashim) daripermulaan abad IV Hijriyah sampai jatuhnya kota Bagdad tahun 656 H. (masa pembrsihan, penyusunan, penambahan, dan pengumpulan)
g.      Periode ketujuh: masa sesudah Daulah Abbasiyah tahun 656 H sampai sekarang. (masa penyerahan, penghimpunan, pengtkhrijan, dan pembahasan)
Adapun periodisasi yang membagi sejarah perkembangan hadist pada 3 periode, bertumbu pada aktivas tadwin hadist, sbab dalam sejarah hadist masalah tadwin sangat strategis.
Tadwin hadist yang dimaksud adalah tdwin resmi yang dimulai tahun 101 H sampaiakhir abad III Hijriyah, periode sejarah perkembangan hadist atas dasar-dasar hadist terbagi pada :
a.       Periode Qobla al-Tadwin, yakni sejak masa Nabi SAW sampai tahun 100 H, masa sebelum Hadist ditadwin secara resmi.
b.      Periode ‘Indal al-Tadwin, yakni sejak tahun 101 sampai akhir abab III Hijriyah, selama aktivitas tadwin resmi.
c.       Periode Ba’da al-Tadwin, sejak abad IV Hijriyah sampai masa- masa selanjutnya setelah Hadist terkoleksi dalam Kitab atau Diwan Hadist.





HADITS PRA DAN PASCA KODIFIKASI

A. Kondisi Hadits Pra Pengkodifikasian
          * Hadits pada Periode Pertama (Masa Rosulullah) Masa Penyebaran Hadits
          Rasulullah hidup di tengah-tengah masyarakat dan sahabatnya. Mereka bergaul secara bebes dan mudah, tidak ada peraturan atau larangan yang mempersulit para sahabat untuk bergaul dengan beliau. Segala perbuatan, ucapan, dan sifat Nabi saw. Bisa menjadi contoh yang nyata dalam kehidupan sehari-hari masyarakat pada masa tersebut. Masyarakat menjadikan Nabi saw. Sebagai panutan dan pedoman dalam kehidupan mereka. Jika ada permasalahan baik dalam ibadah maupun dalam kehidupan duniawi, maka mereka bisa langsung bertanya pada Nabi saw.
            Kabilah-kabilah yang tinggal jauh di luar kota Madinah pun juga selalu berkonsultasi pada Nabi saw. Dalam segala permasalahan mereka. Ada kalanya mereka mengirim anggota mereka untuk mendatangi Nabi saw. Dan mempelajari hukum-hukum syari’at agama. Dan ketika mereka kembali ke kabilahnya, mereka segera menceritakan pelajaran (hadits Nabi saw.) yang baru mereka terima.
            Selain itu, para pedagang dari kota Madinah juga sangat berperan dalam penyebaran hadits. Setiap mereka pergi berdagang, sekaligus juga berdakwah untuk membagikan pengetahuan yang mereka peroleh dari Nabi ketika orang-orang yang mereka temui. Pada saat itu, penyebarluasan hadits sangat cepat. Hal tersebut berdasarkan perintah Rasulullah saw. Pada para sahabat untuk menyebarkan apa pun yang mereka ketahui dari beliau sebagai mana sabdanya:
            “Sampaikanlah olehmu apa yang berasal dariku, kendati hanya satu ayat!” (Bukhari, 50).
            Dalam Hadits ini disebutkan,
“Hendaknya orang yang menyaksikan hadits diantara kamu menyampaikannya pada yang tidak hadir (dalam majlis ini). Karena boleh jadi banyak orang yang menerima hadits (dari kamu) lebih memahami dari pada (kamu sendiri) yang mendengar (langsung dariku) (Bukhari,9).
            Perintah tersebut membawa pengaruh yang sangat baik untuk menyebarkan hadits. Karena secara bertahap, seluruh masyarakat muslim baik yang berada di Madinah maupun yang diluar Madinah akan segera mengetahui hukum-hukum agama yang telah diajarkan oleh Rosulullah. Meskipun sebagian dari mereka tidak memperoleh langsung dari Rosulullah, mereka akan memperoleh dari saudara-saudara mereka yang mendengar langsung dari Rasulullah. Metode penyebaran hadits tersebut berlanjut sampai Haji Wada’ dan wafatnya Rosulullah.
            Faktor-faktor yang mendukung percepatan penyebaran hadits di masa Rasulullah adalah:
a. Rasulullah sendiri rajin menyampaikan dakwahnya.
b. Karakter ajaran Islam sebagai ajaran baru telah membangkitkan semangat orang di lingkungannya untuk selalu mempertanyakan kandungan ajaran agama ini, selanjutnya secara otomatis tersebar ke orang lain secara berkesinambungan.
c. Peranan istri Rasulullah amat besar dalam penyiaran Isalam, hadits termasuk di dalamnya.

            * Hadits pada Periode Kedua (masa Khulafa’ al-Rasyidin)
Masa Pemerintahan Abu Bakar dan Umar bin Khattab
            Setelah Rasulullah wafat, banyak sahabat yang berpindah ke kota-kota di luar Madinah. Sehingga memudahkan untuk percepatan penyabaran hadits. Namun, dengan semakin mudahnya para sahabat meriwayatkan hadits dirasa cukup membahayakan bagi otentisita hadits tersebut. Maka Khalifah Abu Bakar menerapkan peraturan yang membatasi periwayatan hadits. Begitu juga dengan Khalifah Umar bin al-Khattab. Dengan demikian, periode tersebut disebut juga dengan Masa Pembatasan Periwayatan Hadits.
            Pembatasan tersebut dimaksudkan agar tidak banyak dari sahabat yang mempermudah penggunaan nama Rasulullah dalam berbagai urusan, meskipun jujur dan dalam permasalahan yang umum. Namun, pembatasan tersebut tidak berarti bahwa kedua Khalifah tersebut anti-periwayatan, hanya saja beliau sangat selektif terhadap periwayatan hadits. Segala periwayatan yang mengatasnamakan Rasulullah harus dengan mendatangkan saksi, seperti dalam permasalahan tentang waris yang diriwayatkan oleh Imam Malik (Maliky, juz 2:513).
            Abu Hurairah, sahabat yang terbanyak meriwayatkan hadits,pernah ditanya oleh Abu Salamah, apakah ia banyak meriwayatkan hadits di masa Umar, lalu menjawab, “Sekiranya aku meriwayatkan hadits di masa Umar seperti aku meriwayatkannya kepadamu (memperbanyaknya), niscaya Umar akan mencambukku dengan cambuknya (M. Ajjaj al Khatib, 1963:96).
            Riwayat Abu Hurairah tersebut menunjukan ketegasan Khalifah Umar dalam menerapkan peraturan pembatasan Riwayat hadits pada masa pemerintahannya. Namun di sisi lain, Umar Ibn Khattab bukanlah orang yang anti periwayatan hadits. Umar mengutus para ulama untuk menyebarkan Al-Qur’an dan Hadits. Dalam sebuah Riwayat, Umar berkata, “Saya tidak mengankat penuasa daerah untuk memaki orang, memukul, apalagi merampas harta kalian. Tetapi saya mengangkat mereka untuk mengajarkan Al-Qur’an dan hadits kepada kamu semua.” (Ibn Sa’ad, Juz 3:35).

Masa Pemerintahan Utsman ibn Affan dan Ali ibn Abi Thalib
            Secara unum, kebijakan pemarintahan Utsman ibn Affan dan Ali ibn Abi Thalib tentang periwayatan tidak berbeda dengan apa yang telah ditempuh oleh kedua khalifah sebelumnya. Namun, langkah yang diterapkan tidaklah setegas khalifah Umar ibn al-Khattab. Dalam sebuah kesempatan, Utsman meminta para sahabat agar tidak meriwayatkan hadits yang tidak mereka dengar pada zaman Abu Bakar dan Umar (M. Ajjaj al-kKhatib, 2001:97-98). Namun pada dasarnya, periwayatan hadits pada masa pemerintahan ini lebih banyak daripada pemerintahan sebelumnya.
            Keleluasaan periwayatan hadits tersebut juga disebabkan oleh karakteristik pribadi Utsman yang lebih lunak jika dibandingkan dengan Umar. Selain itu, wilayah kekuasaan Islam yang semakin luas juga menyulitkan pemerintah untuk mengontrol pembatasan Riwayat secara maksimal.
            Sementara pada masa Ali ibn Abi Thalib, situasi pemerintahan Islam telah berbeda dengan masa-masa sebelumnya. Masa itu merupakan masa krisis dan fitnah dalam masyarakat. Terjadinya peperangan antar beberapa kelompok kepentingan politik juga mewarnai pemerintahan Ali. SAecara tidak langsung, hal itu membawa dampak negative dalam periwayatan hadits. Kepentingan negative telah mendorong pihak-pihak tertentu melakukan pemalsuan hadits. Dengan demikian, tidak seluruh periwayatan hadits dapat dipercaya riwayatnya.

            Situasi Periwayatan Hadits
            Dalam perkembangannya, periwayatan hadits yang dilakukan para sahabat berciri pada 2 tipologi periwayatan:
1. Dengan menggunakan lafal hadits asli, yaitu menurut lafal yang diterima dari Rasulullah saw..
2. Hanya meknanya saja karena mereka sulit menghafal lafal redaksi hadits persis dengan yang disabdakan Nabi saw..
            Pada masa pembatasan periwayatan, para sahabat hanya meriwayatkan hadits jika ada permasalahan hukum yang mendesak. Mereka tidak meriwayatkan hadits setiap saat, seperti dalam khutbah. Sedangkan pada masa pembanyakan periwayatan, banyak dari para sahabat yang dengan sengaja meriwayatkan hadits. Namun, tetap dengan dalil dan saksi yang kuat. Bahkan jika diperlukan, mereka rela melakukan perjalanan jauh hanya untuk mencari kebenaran hadits yang diriwayatkannya.

Hadits pada Periode Ketiga (Masa Sahabat Kecil Tabi’in Besar)
            a. Masa Penyebarluasan Hadits
            Sesudah masa Khulafa’ al-Rasyidin, timbullah rasa yang lebih sungguh untuk mencari dan meriwayatkan hadits. Bahkan tatacara periwayatan hadits pun sudah dibakukan. Pembakuan tatacara periwayatan hadits ini berkaitan erat dengan upaya ulama untuk menyelamatkan hadits dari upaya-upaya pemalsuan hadits. Kegiatan periwayatan hadits pada masa itu lebih luas dan banyak dibandingkan dengan periwayatan pada periode Khulafa’ al-Rasyidin. Kalangan tabi’in telah semakin banyak yang aktif meriwayatkan hadits.
            Meskipun masih banyak periwayatan hadits yang berhati-hati dalam periwayatan hadits, kehati-hatian pada masa itu sudah bukan lagi menjadi cirikhas yang menonjol. Karena meskipun pembakuan tatacara periwayatan telah ditetapkan, luasnya wilayah Islam dan kepentingan golongan memicu munculnya hadits-hadits palsu. Sejak timbul fitnah pada akhir masa Usman r.a, umat Islam terpecah-pecah dan masing-masing lebih mengunggulkan golongannya. Pemalsuan hadits mencapai puncaknya pada periode ketiga, yakni pada masa kekhalifahan Daulah Umayyah.
            Seorang ulama Syi’ah, Ibnu Abil Hadid menulis dalam kitab Nahyu al-Balaghah: “Ketahuilah bahwa asalmulanya timbul hadits yang mengutamakan pribadi-pribadi (hadits palsu) adalah dari golongan Syi’ah sendiri. Perbuatan mereka itu ditandingi oleh golongan Sunnah (Jumbur/Pemerintah) yang bodoh-bodoh. Mereka juga membuat hadits-hadits untuk menandingi hadits golongan Syi’ah itu.”
            Karena banyaknya hadits palsu yang beredar di masyarakat dikeluarkan oleh golongan Syi’ah, Imam Malik menamai kota Iraq (pusat kaum Syi’ah) sebagai “Pabrik Hadits Palsu.”


c.      Tokoh-tokoh dalam Perkembangan Hadits
            Pada masa awal perkembangan hadits, sahabat yang banyak meriwayatkan hadits disebut dengan al-Muktsirun fi al-Hadits, mereka adalah:
a. Abu Hurairah  meriwayatkan 5347 atau 5346 hadits.
b. Abdullah ibn Umar meriwayatkan 2630  hadits.
c. Anas ibn Malik meriwayatkan 2276 atau 2236 hadits.
d. Aisyah (isteri Nabi) meriwayatkan 2210 hadits.
e. Abdullah ibn Abbas meriwayatkan 1660 hadits.
f. Jabir ibn Abdillah meriwayatkan 1540 hadits.
g. Abu Sa’id al-Khudry meriwayatkan 1170 hadits.
            Sementara itu, dari kalangan Tabi’in, tokoh-tokoh dalam periwayatan hadits sangant banyak sekali, mengingat banyaknya periwayatan pada masa tersebut, diantaranya:
a. Madinah
1. Abu Bakar ibn Abdu Rahman ibn al-Harits ibn Hisyam
2. Salim ibn Abdullah ibn Umar
3. Sulaiman ibn Yassar
b. Makkah
1. Ikrimah
2. Muhammad ibn Muslim
3. Abu Zubayr
c. Kufah
1. Ibrahim an-Nakha’i
2. Alqamah
d. Bashrah
1. Muhammad ibn Sirin
2. Qotadah
e. Syam
1. Umar ibn Abdu al-Aziz 9yang kemudian khalifah yang mempelopori kodifikasi hadits)
f. Mesir
1. Yazid ibn Habib

g. Yaman
1. Thaus ibn Kaisan al-Yamani

B. Kondisi Hadits Pasca Kodifikasi
            Pada abad ini disebut “Azha Ushur al-Sunnab al-Nabawiyah” (masa keemasan sunah), karena pada masa kegiatan rihlah mencari ilmu dan sunnah serta pembukuannya mengalami puncak keberhasilan yang luar biasa. Maka lahirlah buku-buku Hadits Musnad, buku induk Hadits Enam, Hadits Sunan dan Shahih yang dipedomani oleh umat Islam.
            Pada masa ini juga lahir pada huffadz dan para pembesar kritikus hadits sekalipun menghadapi fitnah dan ujian (mihnah) dari kaum Mu’tazilah seperti Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahawayh, Ali bin al-Madini, Yahya Ma’in, Muhammad bin Muslim, Abu Abdullah al-Bukharri, Muslim bin Hajjaj, Abu Aarrah dan lain-lain. Mereka untuk menjawab tantangan dari ahli kalam yang menyerang matan dan sanad hadits dengan cercaannya Ibnun Qutaybah (w. 234 H) menulis sebuah bukunya yang berjudul “Ta’wil Mukhtalif al-Hadits”
            Maksudnya buku induk Hadits Enam ialah buku-buku hadits yang dijadikan pedoman  dan referensi para ulama hadits berikutnya:
1. Al-Jami’ al-Shahih li al-Bukhari (194 256 H)
2. Al-Jami’ al-Shahih li Muslim (204-261 H), kedua kitab ini disebut “al-Shahihayn” atau “al-Syaykhayn” atau “mutaffaq’alaih”
3. Sunan al-Nasa’I (215-303 H)
4. Sunan Abu Dawud (202-261 H)
5. Jami’ al-Turmudzi (209-269 H)
6. Sunan Ibn Majah (209-276 H)
            Masa ini disebut juga “Ash al-Jami’ wa al-Tashhih” (masa pembukuan dan penyaringan), karena masa yang paling sukses dalam pembukuan hadits, dan pada masa ini ulama hadits telah memisahkan hadits Nabi saw. Dari yang bukan hadits atau hadits Nabi, atau dari perkataan sahabat dan fatwanya dan telah berhasil pula mengadakan filterisasi (penyaringan) yang sangat teliti apa saja yang dikatakan Nabi saw., sehingga telah dapat dipisahkan dengan hadits yang sahih dan mana yang bukan sahih. Seolah-olah pada abad ini hamper seluruh hadits telah terhimpun ke dalam buku, hanya sebagian kecil saja dari hadits yang belum terhimpun. Yang pertama kali berhasil membukukan hadits sshih saja adalah a—Bukhari kemudian disusul Imam Muslim.
            Perkembangan pembukuan hadits pada masa ini ada 3 bentuk, yaitu sebagai berikut:
1. Musnad, yaitu menghimpun semua hadits dari tiap-tiap sahabat tanpa memperhatikan masalah atau topiknya dan dinilai ada yang sahih, hasan dan dla’if. Misalnya semua hadits Nabi saw. Yang diperoleh seorang periwayat  dari seorang sahabat Abdullah bin Abbas dikelompokan pada bab hadits-hadits Abdullah bin Abbas, dan seterusnya. Kitab Hadits yang disusun secara musnad ini misalnya, Musnad Imam Ahmad bin Hanbal (164-241) dan Musnad Ahmad bin Rawahah (161-238).
2. Al-Jam’I, yaitu teknik pembukuan hadits yang mengakumulasi 9 masalah yaitu aqa’id, hukum, perbudakan (riqaq), abad makan minum, tafsir, tarikh, sifat-sifat akhlak (syama’il), fitnah (fitan), dan sejarah (Mataqib). Misalnya kitab al-Jami’ al-Shahih li al-Bukhari, al-Jami’ al-Shahih li muslim, dan jami al –Turmudzi. Kualitas kitab al-Bukhari dan Muslim shahih semua sebagai mana nama kitab yang menyebut kata al-Shahih, hasan, dan dla’if.
3. Sunan, teknik penghimpunan hadits secara bab seperti Fikih, setiap bab membuat beberapa hadits dalam satu topik, seperti Sunan al-Nasa’I, Sunan Ibnu Majah, dan Sunan Abu Daud. Di dalam kitab ini ada yang shahih, hasan, dan dla’if akan tetapi tidak terlalu dla’if seperti hadits Munkar.













SEJARAH KODIFIKASI HADITS

A. Larangan Menulis Hadits
            Di masa Rosulullah masih hidup, hadits belum mendapatkan pelayanan dan perhatian sepenuhnya kepada al-Qur’an. Para sahabat terutama yang mempunyai tugas istimewa, selalu mencurahkan tenaga dan waktunya untuk mengabadikan ayat-ayat al-Qur’an dengan alat-alat yang mungkin dapat dipergunakannya. Tetapi tidak demikian halnya terhadap hadits. Mereka belum membayangkan bahaya yang dapat mengancam generasi mendatang ketika hadits belum diabadikan dalam tulisan. Para sahabat menyampaikan sesuatu yang ditanggapi dari panca indranya dari Nabi Muhammad saw, dengan berita lisan belaka.
            Pendirian ini menjadi pendirian yang kuat sebagai mana sabda Nabi Muhammad saw.: “Jangan kamu tulis sesuatu yang telah kamu terima dariku selain al-Qur’an. Barang siapa menuliskan yang ia terima dariku selain al-Qur’an hendaklah ia hapus. Ceritakan saja yang kamu terima dariku, tidak mengapa. Barang siapa yang sengaja berdusta atas namaku, maka hendaklah ia menduduki tempat duduknya di Neraka.’ (Riwayat Muslim).
            Larangan menulis hadits tersebut ialah untuk menghindarkan adanya kemungkinan sebagian sahabat penulis wahyu memasukan hadits ke dalam lembaran-lembaran tulisan al-Qur’an, karena dianggapnya segala yang dikatakan Rasulullah saw., adalah wahyu semuanya. Lebih-lebih bagi generasi yang tidak menyaksikan zaman tanzil (turunnya wahyu), tidak mustahil adanya dugaan bahwa seluruh yang tertulis adalah wahyu semuanya, hingga bercampur aduk antara al-Qur’an dengan hadits (Fatyrahman, 1974:46).
B. Perintah Menulis Hadits
            Di samping Rasulullah saw. Melarang menulis al-Hadits, beliau memerintahkan pula kepada beberapa orang sahabat tertentu untuk menulis hdits. Misalnya hadits yang diriwayatkan Abu Huraira ra. Yang menerangkan bahwa sesaat ketika kota Mekah telah dikuasai kembali oleh Rosulullah saw., beliau berdiri berpidato di hadapan umatnya. Di waktu beliau berpidato, tiba-tiba seorang laki-laki  yang berasal dari Yunani yang bernama Abu Syah berdiri dan bertanya kepada Rasulullah saw., Ujarnya: ya Rosulullah! Tulislah untukku” Jawab Rosul: “tulislah oleh kamu sekalian untuknya!”.
Menurut Abu Abdirahman bahwa tidak ada satu pun tentang perintah tentang menulis hadits yang lebih sah, selain hadits ini. Sebab Rosulullah dengan tegas memerintahkannya. Sejarah telah mencatat adanya beberapa naskah tulisan hadits yang bersifat pribadi dari beberapa sahabat dan tabi’innya. Para sahabat yang mempunyai naskah hadits, antara lain:
           
            a. Abdullah bin Amr bin Ash r.a.
            Abdullah bin Amr bin Ash r.a. (7 SM-65 H) adalah salah seorang sahabat yang selalu menulis apa yang pernah didengarkannya dari Nabi Muhammad saw., tindakan ini pernah ditegur oleh orang-orang Quraisy, ujarnya: “Kau tuliskah semua apa-apa yang telah kau dengar dari Nabi? Sedang beliau sebagai manusia, kadang-kadang berbicara dalam suasana suka dan kadang-kadang berbicara dalam keadaan duka?” Atas teguran tersebut, ia segera menanyakan tindakannya kepada Rasulullah saw. Jawab Rasul: “Tulislah! Demi dzat yang nyawaku ada ditangan-Nya, tidakkah yang keluar dariku selain yang hak.
Rasulullah saw. Mengijinkan kepada Abdullah bin Amr bin Ash r.a. umtuk menulis apa-apa yang didengarnya dari beliau, dikarenakan ia adalah salah seorang penulis yang baik. Naskah Abdullah bin Amr bin Ash r.a. dinamai dengan “Ash Shahifah ash-Shadiqah”, karena apa yang ditulisnya adalah langsung dari Rasulullah saw. Naskah hadits “Ash Shahifah ash-Shadiqah” berisikan sebanyak 1000 hadits, dan dihafal serta dipelihara oleh keluarganya sepeninggal penulisnya. Cucunya yang bernama Amr bin Syuaib meriwayatkan hadits-hadits tersebut sebanyak 500 hadits.
            Bila naskah Ash-Shadiqah tidak sampai kepada kita menurut bentuk aslinya, maka dapat kita temukan dalam bentuk kutipan  pada Musnad Ahmad, Sunan Abu Daud, Sunan al-Nasa’I, Sunan al-Turmudzy dan Ibnu Majah (M. Ajjaj al-Khatib, 1963:349).
            b. Jabir bin ‘Abdullah al-Anshary r.a. (16 H-73 H)
            Naskah hadits Jabir bin ‘Abdullah al-Anshary r.a. dinamai dengan “Shahifah Jabir”. Qatadah bin Da’amah as-Sudusy memuji naskah Jabir ini dengan kata-kata: “Sesungguhnya Shaifah ini lebih kuhafal daripada surat al-Baqarah.”
            Diantara tabi’iy yang mempunyai naskah al-Hadits ialah: Human bin Munnabih (40-131 H). Ia adalah seorang tabi’in yang alim yang berguru kepada sahabat Abu Huraira r.a. dan mengutip hadits Rasulullah saw. Daripadanya banyak sekali. Hadits-hadits tersebut kemudian dikumpulkannya dalam satu naskah yang dinamai “As-Shahifah ash-shahihah”. Naskah tersebut berisikan hadits sebanyak 138 hadits. Imam Ahmad didalam musnadnya menukil hadits-hadits Human bin Munabbih keseluruhannya. Imam Bukhari pun banyak sekali menukil hadits-hadits tersebut kedalam kitab shahihnya dan terdapat dalam beberapa bab. Ketiga buah naskah tersebut di antaranya sekian banyak tulisan hadits yang ditulis secara pribadi oleh para sahabat dan tabiin yang muncul abad pertama.
Nash-nash yang melarang menulis hadits di pihak lain, bukan lah merupakan nash-nash yang saling bertentangan satu sama lain, akan tetapi nash-nash itu dapat dikompromikan sabagai berikut:
1. Bahwa larangan menulis hadits itu adalah terjadi diawal-awal Islam untuk memelihara agar hadits itu tidak bercampur dengan al-Qur’an. Tetapi setelah jumlah kaum muslimin semakin banyak dan telah banyak yang mengenal al-Qur’an, maka hukum larangan menulisnya telah dinaskahkan dengan perintah yang membolehkannya. Dengan demikian, hukum menulisnya adalah boleh.
2. Bahwa larangan menulis hadits itu adalah bersifat umum, sedang perizinan menulisnya bersifat khusus bagi orang yang mempunyai keahlian tulis-menulis, hingga terjaga dari kekeliruan dalam menulisnya dan tidak dikhawatirkan akan salah, seperti Abdullah bin Amr bin Ash.
3. Bahwa larangan menulis hadits ditujukan kepada orang-orang yang lebih kuat menghafalnya daripada menulisnya, sedang perizinan menulisnyadiberikan pada orang yang tidak kuat menghafalnya, seperti Abu Syah (M. Ajjaj al-Khalib, 1963:306-309).

C. Penghapalan Hadits
          Para sahabat dalam meerima hadits dari Nabi saw. Berpegang pada kekuatan hapalannya, yakni menerimanya dengan jalan hapalan, bukan dengan jalan menulis hadits dalam buku. Sebab itu, kebanyakan sahabat menerima hadits melalui mendengar dengan hati-hati apa yang disabdakan Nabi saw..
            Kemudian para sahabat menghafal setiap apa yang diperoleh dari sabda-sabdanya dan berupaya mengingat apa yang Nabi saw. Lakukan, untuk selanjutnya disampaikan pedada orang lain secara hapalan juga. Hanya beberapa orang saja yang mencatat hadits yang didengarnya dari Nabi saw.
            Di antara para sahabat yang paling banyak menghapal atau meriwayatkan hadits ialah Abu Hurairah. Menurut keterangan Ibnu Jauzi bahwa hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah sebanyak 5.374 buah hadits kemudian para sahabat yang paling banyak hapalannya sesudah Abu Hurairah ialah:
1. Abdullah bin Umar r.a. meriwayatkan 2.630 buah hadits.
2. Anas bin Malik meriwayatkan 2.276 buah hadits.
3. Aisyah meriwayatkan 2.210 buah hadits.
4. Abdullah ibnu Abbas meriwayatkan 1.660 buah hadits.
5. Jabir bin Abdullah meriwayatkan 1.179 buah hadits.
(Hasby ash-Shiddieqy, 1991:53).

D. Penghimpunan Hadits
            Pada abad pertama hijrah, yakni masa Rasulullah saw., masa Khulafaur Rasyidin dan sebagian besar masa Bani Umayyah hingga akhir abad pertama hijrah, hadits itu berpindah-pindah dan disampaikan dari mulut ke mulut. Masing-masing perawi pada waktu itu meriwayatkan hadits berdasarkan kekuatan hafalannya. Memang hapalan mereka terkenal kuat sehingga mampu mengeluarkan kembali hadits-hadits yang pernah direkam dalam ingatannya. Ide perhimpunan hadits Nabi secara tertulis untuk pertama kalinya dikemukakan oleh Khalifah  Umar bin Khattab (23/H/644 M). Namun, ide tersebut tidak dilaksanakan oleh Umar karena khawatir umat Islam terganggu perhatiannya dalam mempelajari al-Qur’an (M. Suhudi Ismail, 1995-51).
            Pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang dinobatkan akhir abad pertama hijriyah, yakni tahun 99 Hijriyah datanglah angin segar yang mendukung kelestarian hadits. Umar bin Abdul Aziz seorang Khalifah dari Bani Umayah terkenal adil dan wara’, sehingga beliau dipandang sebagai Khalifah Rasyidin yang kelima.

E. Menulis dan Membukukan Hadits secara Resmi
            a. Perintis dan Sejarah Pembukuan Hadits
            Setelah agama Islam tersiar dengan luas di masyarakat, dipeluk dan dianut oleh penduduk yang bertempat tinggal di luar Jazirah Arab, dan para sahabat mulai terpencar di beberapa wilayah bahkan tidak sedikit jumlahnya yang telah meninggal dunia , maka terasalah perlunya hadits diabadikan dalam bentuk tulisan dan kemudian dibukukan dalam dewan hadits. Urgensi ini menggerakan hati Khalifah Umar bin Abdul Aziz seorang Khalifah bani Umayyah yang menjabat Khalifah antara tahun 99-101 H untuk menulis dan membukukan (mendewankan) hadits.
            b. Ciri-ciri kitab Hadits yang didewankan    
          Tergolong dari kemauan keras untuk mengumpulkan hadits sebanyak-banyaknya, mereka tidak menghiraukan atau belum sempat menyeleksi apakah yang mereka dewankanitu hadits Nabi saw. Semata-mata ataukah termasuk juga didalamnya fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in. bahkan lebih jauh dari itu mereka belum mengklasifikasi kandungan nash-nash hadits menurut kelompok-kelompoknya.
            Dengan demikian, karya ulama abad kedua ini masih bercampur-aduk antara hadits-hadits Rasulullah saw. Dengan fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in. Wal-hasil, bahwa kitab-kitab hadits karya ulama-ulama tersebut belum ditepis antara hadits-hadits yang marfu’, mauquf dan maqthu”, dan diantara hadits yang shahih, hasan dan dla’if.
            Di antara kitab-kitab hadits karya pemuka hadits abad kedua, catatan Ibnu Hazm merupakan catatan hadits yang spesifik menghitung hadits Nabi saw. Semata-mata. Mengingat-ingat bahwa instruksi Umar bin Abdul Aziz kepadanya hanya membenarkan untuk mencatatkan hadits-hadits Nabi saw saja.













PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN HADIS PADA MASA TABI’IN

Pada dasarnya periwayatan yang dilakukan oleh kalangan Tabi’in tidak begitu berbeda dengan yang dilakukan oleh para sahabat. Hal ini karena mereka mengikuti jejak para sahabat yang menjadi guru-guru mereka. Hanya saja persoalan yang dihadapi mereka agak berbeda dengan yang dihadapi para sahabat. Pada masa ini Al-Quran sudah dikumpulkan dalam satu mushaf. Di pihak lain, para sahabat ahli hadis telah menyebar ke beberapa wilayah kekuasaan islam, sehingga para tabi’in dapat mempelajari hadi dari mereka.
Ketika pemerintahan dikpegang oleh Bani Umayah, wilayah kekuasaan islam telah meliputi Mesir, Persia, Irak, Afrika Selatan, Samarkand, dan Spanyol. Pesatnya perluasan wilayah kekuasaan islam, dan meningkatnya penyebaran para sahabat ke daerah-daerah tersebut menjadikan masa ini dikenal dengan masa penyebaran periwayatan hadis (ihtisyar Ar-Riwayah Ila Al-Amshar).

1.      Pusat-pusat dan Pembinaan Hadits
Pusat pembinaan pertama adalah Madinah karena disinilah Rasulullah SAW menetap setelah hijrah. Disini pula Rasulullah SAW membina masyarakat islam yang terdiri atas Muhajirin dan Anshar dari berbagai suku dan kabilah, disamping umat nonmuslilm, seperti yahudi yang dilindungi oleh beliau. Para sahabat yang menetap disini adalah, Khulafa Ar-Rasyidin, Abu Hurairah, Siti Aisyah, Abdullah Bin Umar.
Diantara para sahabat yang membina hadis di Mekah tercatat nama-nama, seperti Muadz Bin Jabal, Atab bin Asid, Haris bin Hisyam, Uqbah bin Al-Haris.
Diantara para sahabat yang membina hadis di Kufah ialah Ali bin Abi Thalib, Saad bin Abi Waqas, dan Abdullah bin Mas;ud.
Diantara para sahabat yang membina hadis di Basrah ialah Annas bin Malik, Abdullah bin Abbas, Imran bin Husain.
Diantara para sahabat yang membina hadis diSyam adalah Abu Ubaidah Al-Jarh, Bilal bin Rabah, Muadz bin Jabal.
Diantara para sahabat yang membina hadis di Mesir ialah, Amr bin Al-As, Uqbah bin Amar, Abdullah bin Al-Haris.
Di Maghrib dan Andalus, para sahabat yang terjun dalam penyampaian hadis diantaranya Mas’ud bin Al-Aswad Al-Balwi, Salamah bin Al-Akwa.
Diantara para sahabat yang membina hadis di Yaman, antara lain Muadz bin Jabal, dan Abu Musa Al-As’ari.

2.      Pergolakan Politik dan Pemalsuan Hadits
Pergolakan politik ini terjadi pada masa sahabat, setelah terjadinya perang Jamal dan perang Siffin, ketika kekuasaan dipegang oleh Ali bin Abi Thalib. Pengaruh yang langsung dan bersifat negatif ialah munculnya hadis-hadis palsu (mawdu) untuk mendukung kepentingan politiknya masing-masing kelompok dan untuk menjatuhkan posisi lawan-lawannya.
Adapun pengaruh yang berakibat positif adalah lahirnya rencana dan usaha yang mendorong diadakannya kodifikasi atau tadwin hadis sebagai upaya penyelamatan dari pemusnahan dan pemalsuan sebagai akibat dari pergolakan politik tersebut.

















MASA SELEKSI DAN PENYEMPURNAAN SERTA PENGEMBANGAN SISTEM PENYUSUSUNAN KITAB HADIS

1.      Masa Seleksi
Masa seleksi atau penyaringan hadis terjadi ketika pemerintahan diopegang oleh dinasti Bani Abbas, khususnya sejak masa Al-Makmun sampai dengan Al-Muktadir (sekitar tahun 201-300 H).
Pada masa ini, para ulama bersungguh-sungguh mengadakan penyaringan hadis yang diterimanya. Melalui kaidah-kaidah yang ditetapkannya, mereka berhasil memisahkan hadis-hadis yang dhaif dari yang sahih dan hadis-hadis yang mauquf dan yang maqtu dari yang ma’ruf.

Kitab-kitab induk yang Enam (Kutub As-Sittah)
Berkat keuletan dan keseriusan para ulama pada masa ini, maka bermunculan kitab-kitab hadis yang hanya memuat hadishadis sahih. Kitab-kitab tersebut pada perkembangannya dikenal dengan Kutub As-Sittah.
Ulama pertama yang berhasil menyusun kitab tersebut adalah Imam Bukhari (194-252 H) dengan kitabnya Al-Jami’ As-Sahih. Kemudian Imam Muslim (204-261 H), dengan kitabnya Al-Jami’ Ash-Shahih.
Secara lengkap kitab-kitab yang enam diurutkan sebagai berikut :
1.      Al-Jami’ Ash-Shahih susunan Al-Bukhari
2.      Al-Jami’ Ash-Shahih susunan Imam Muslim
3.      As-Sunan susunan Abu Dawud
4.      As-Sunan susunan Tirmidzi
5.      As-Sunan susunan Nasai
6.      As-Sunan susunan Ibnu Majah
Menurut sebagian ulama urutan-urutan ini berdasarkan urutan kualitasnya.



2.      Masa Pengembangan dan Penyempurnaan Sistem Penyusunan Kitab-kitab Hadits
Setelah munculnya Kutub As-Sittah dan Al-Muwatha’-nya Malik serta Al-Musnad-nya Ahmad Ibn Hambal, para ulama meyusun kitab-kitab Jawami, kitab Syarah mukhtasar, men-tahrij, menyusun kitab Athraf dan Jawaid serta menyusun kitab-kitab untuk topik-topik tertentu.
Penyusunan kitab pada masa ini lebih mengarah kepada usaha mengembangkan dengan beberapa variasi pentadwinan terhadap kitab-kitab yang sudah ada, diantaranya dengan mengumpulkan isi kitab Shahih Bukhari Muslim.
Masa perkembangan hadis yang disebut terakhir ini berlangsung sangat lama, yaitu mulai abad keempat hijriah dan terus berlangsung hingga beberapa abad berikutnya sampai abad kontemporer. Dengan demikian, masa perkembangan ini melewati dua fase sejarah perkembangan islam, yaitu fase pertengahan dan fase modern.

Daftar Pustaka :

ü  Maslani, Ratu Suntiah.2010.Ikhtisar Ulumul Hadits.Bandung:Sega Arsy
ü  Mudasir.2010.Ilmu Hadits.Bandung:Pustaka Setia
ü  Soetari Endang.2008.Ilmu Hadits Kajian Riwayah dan Dirayah.Bandung:Mimbar Pustaka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar